Kelas akselerasi adalah kelas khusus yang diperuntukkan bagi para
siswa berkemampuan istimewa dengan sistem percepatan masa studi. Sekolah
Dasar (SD) pada umumnya ditempuh selama enam tahun, dengan akselerasi
dapat "diirit" menjadi hanya lima tahun.. Demikian juga SMP dan SMA,
masing-masing "diirit" 1 tahun menjadi dua tahun saja. Sehingga, kelas
akselerasi dapat "mengirit" waktu tiga tahun sejak dari SD sampai SMA.
Kenapa
saya menulis ini ? Karena tahun ini anak saya akan masuk ke SMP, dan si
Cikal ingin masuk kelas akselerasi di SMP. Karena hal itu maka saya
lagi berfikir dan menganalisis untung ruginya si Cikal masuk kelas
akselerasi.
Memang sih, selain mengirit waktu, kelas
akselerasi juga "nampaknya" diharapkan dapat menjadi tempat untuk siswa
yang kemampuannya jauh melebihi rata-rata, sehingga siswa tidak jenuh
karena berprestasi di bawah potensi yang dimilikinya. Oleh karenanya,
kelas akselerasi cocok untuk siswa yang memiliki kecerdasan dan bakat
istimewa. Akan tetapi, apakah hasil tes penempatan yang dilakukan itu hasilnya valid ? Dalam arti tidak dipaksakan ?
Selain
itu, kelas akselerasi selama ini hanya menampung para siswa yang
pandai dalam beberapa mata pelajaran, sementara mata pelajaran yang lain
saling berkaitan. Terkadang malah hanya mata pelajaran yang selama ini
dianggap mewakili kecerdasan siswa seperti mata pelajaran berbasis
eksak, sehingga terjadi diskriminasi terhadap mata pelajaran non-eksak.
Permasalahan yang lain adalah siswa akan sangat sibuk berkutat dengan tugas dan textbook
sehingga lupa bermain yang merupakan realitas sosial. Terkadang,
siswa-siswa akselerasi membentuk “gank eksklusif”, yang membuat gap
antara kelas akselerasi dengan kelas reguler. Ketika orangtua libur,
anak malah gak libur karena sibuk mengejar target, ah alangkah gak
enaknya gak bisa liburan hahaha ....
Yang paling sulit
adalah kondisi mental dan psikologi siswa. Banyak siswa akselerasi
selama ini menjadi “korban” demi pemenuhan gengsi orangtua dan sekolah.
Orang tua memaksakan anak-anak mereka masuk di kelas akselerasi agar
status sosial mereka dapat terangkat. Padahal, di belakang itu semua
anak mereka sedang jatuh bangun, ngos-ngosan agar tetap bisa mengejar
target akselerasi. Dan sekolah pun ikut bertaruh gengsi lewat program
akselerasi ini, yakni demi status sebagai “Sekolah Unggulan”. Dari sini
saja sangat kentara potensi terjadinya nepotisme antara orangtua siswa dengan sekolah.
Khusus
untuk kualifikasi guru, nampaknya masih sedikit guru di kelas
akselerasi yang belum pernah mendapatkan pelatihan khusus dalam mengajar
kelas akselerasi. Akibatnya, cara mengajar guru tersebut tidak ada
bedanya dengan mengajar kelas reguler, sehingga siswa dibebani tugas
yang begitu banyak demi “kejar setoran”. Jika ini yang terjadi, kelas
akselerasi sesungguhnya cuma kumpulan “siswa-siswa reguler” yang
memiliki beban tugas lebih banyak dari siswa-siswa reguler pada umumnya.
Apakah gurunya juga dites untuk dapat mengajar di kelas akeselerasi ?
Ketika
si Cikal mendaftar seleksi kelas akselerasi di salah satu SMP di Kota
Tasikmalaya, ternyata ada surat pernyataan orang tua yang bersedia
mengikuti program akeselerasi. Sebenarnya saya tadinya gak mau tanda
tangan surat pernyataan itu, karena saya tidak tahu apa itu program
akselerasi dan surat pernyataan itu sangat luas konsekuensinya, misalnya
ketika saya harus bayar mahal, harus menyediakan peralatan dan
sebagainya. Dengan menadatangani itu artinya saya setuju apapun
permintaan sekolah terhadap kebutuhan anak saya nanti....
Terakhir,
ketika anak saya berhasil melewati kelas akselerasi, dan katakan masuk
perguruan tinggi pilihannya dengan umur yang selisih hampir 4 tahun
dengan teman seangkatannya, maka apakah anak saya siap bergaul dengan
mereka ? .... Kalau pacaran juga mungkin harus sama anak SMP barangkali
hahaha ....
Jadi dengan alasan-alasan itu tadi, saya
sebenernya gak setuju ada kelas akselerasi, sebaiknya dihapuskan saja
kelas itu hahaha .....
1 comment:
terimakasih infonya sangat membantu, kunjungi http://bit.ly/2CYwmbi
Post a Comment